-->

Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri Sekaligus Ketua Umum DPP PDI-P Genap Usia 72 Tahun



Jakarta - FBINews.net

Ketua Umum PDI Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri genap berusia 72 tahun hari ini, Rabu (23/1/2019). Sosok yang dikenal sebagai presiden kelima Indonesia ini merupakan anak proklamator dan presiden pertama Indonesia, Soekarno.

Megawati diangkat sebagai presiden menggantikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang dilengserkan oleh hasil Sidang Istimewa MPR pada 2001. Megawati kemudian berpasangan dengan Hamzah Haz memimpin Indonesia sampai 2004.

Nama Megawati sendiri sudah dikenal sebelum reformasi bergulir. Saat itu, Megawati bahkan diharapkan dapat berkiprah lebih luas sebagai oposisi di era Presiden Soeharto, saat ditunjuk menjadi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (cikal bakal PDI-P).

Sosok Megawati kemudian berganti rupa menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru, terutama setelah kepemimpinannya digoyang Pemerintah Soeharto.

Saat itu, Orde Baru tak mengakui kepemimpinan Megawati, dan mengesahkan kepemimpinan Soerjadi, pasca-terjadi dualisme di partai berlambang banteng.

Dualisme partai itu berujung tragedi, saat terjadi Peristiwa Sabtu Kelabu pada 27 Juli 1996 yang menewaskan dan menghilangkan sejumlah pendukung Megawati.

Meski begitu, saat Megawati berperan sebagai presiden, kasus 27 Juli 1996 dianggap banyak pihak belum juga tuntas. Sejumlah orang yang dituduh bertanggung jawab dalam kasus itu tak tersentuh hukum.

Lalu bagaimana, kiprah Megawati Soekarnoputri dalam perpolitikan Tanah Air? Berikut perjalanannya:

1. Lahir di Yogyakarta
Sebagai seorang Presiden Indonesia, Soekarno memikul tugas dan tanggung jawab yang berat terhadap negara. Dia pernah ditangkap dan diasingkan oleh Belanda berkali-kali ke berbagai tempat.

Megawati Soekarnoputri adalah putri kedua Soekarno dengan Fatmawati, gadis yang dijumpainya ketika di pengasingan Bengkulu.

Megawati dilahirkan pada 23 Januari 1947 di kampung Ledok Ratmakan, dekat Kali Code, Yogyakarta. Momen kelahirannya bertepatan dengan Agresi Militer Belanda dan ketika itu ayahnya sedang diasingkan di Pulau Bangka.

Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaan secara penuh, Megawati kecil bertolak ke Jakarta dan tumbuh besar di sana. Dia menempuh pendidikan dan pengalaman berbagai organisasi di Ibu Kota.

2. Membangun keluarga
Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri di peringatan HUT ke-46 PDI-P
Pada 1 Juni 1968, Megawati menikah dengan Letnan Satu AURI Surindro Supjarso. Dilansir dari Harian Kompas yang terbit pada 29 Mei 1968, resepsi pernikahan berlangsung di kediaman Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Sebelumnya, Soekarno juga hadir untuk melihat prosesi pernikahan putri keduanya tersebut.

Setelah menikah dengan perwira AURI, dia dikarunia dua orang anak yaitu Mohammad Rizki Pratama dan Mohammad Prananda. Megawati tinggal bersama keluarga di Madiun, Jawa Timur.

Akan tetapi, suaminya mengalami kecelakaan penerbangan ketika pesawat yang dikendalikannya Skyvan T-701 terempas di laut sekitar perairan Pulau Biak, Irian Jaya. Peristiwa ini terjadi sehari sebelum ulang tahun Megawati ke-23.

Setelah itu, Megawati menikah dengan diplomat Mesir yang kala itu sedang bertugas di Jakarta, yang bernama Hassan Gamal Ahmad Hasan. Namun, kondisinya hanya berlangsung tiga bulan karena terjadi permasalahan.

Pernikahannya yang ketiga adalah dengan Taufiq Kiemas, temannya semasa jadi aktivis di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Bersama dengan Taufiq Kiemas, Megawati kemdian ikut andil dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hingga berubah menjadi PDI-P.

Megawati juga mempunyai putri ketiganya bersama sang suami, Puan Maharani.

3. Memimpin partai, alami dinamika
Pada era 1980-an, Megawati mulai masuk ke dunia politik. Kariernya semakin bagus ketika pada 1986 dia menjadi wakil ketua PDI Cabang Jakarta Pusat. Tak membutuhkan banyak waktu, hanya satu tahun saja dirinya mampu menembus jadi angggota DPR RI.

Setiap tahun, partai berlambang banteng itu mengadakan kongres untuk membenahi sistem partai. Ketika Kongres Luar Biasa PDI digelar di Surabaya pada 1993, Megawati secara aklamasi terpilih menjadi Ketum PDI .

Seperti diberitakan Harian Kompas yang terbit pada 23 Juli 1993, Kongres Luar Biasa PDI digelar karena masalah internal di bawah kepemimpinan Soerjadi.

Megawati tampil dominan dalam KLB PDI di Surabaya hingga terpilih menjadi ketua umum.

Selanjutnya, diadakan Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta pada 22 Desember 1993, yang menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI.

Namun, dualisme dan gejolak di tubuh PDI tetap ada saat Megawati memimpin.

4. Peristiwa Kudatuli
Penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro oleh pendukung kubu Soerjadi berakhir dengan bentrokan antara massa dan aparat keamanan di kawasan Jalan Salemba, Jakarta Pusat, 27 Juli 1996. Sebelumnya, kantor PDI diduduki massa pendukung Megawati.
Setelah merasa dijatuhkan, Soerjadi dan kelompoknya membuat Kongres PDI di Medan dan menyepakati Sorjadi sebagai ketua umum pada 22 Juni 1996.
Indikasi mengenai "restu" Presiden Soeharto terhadap pelaksanaan kongres ini juga terlihat. Sebab, kongres yang berlangsung pada 20 Juni-22 Juni 1996 itu dibuka dan ditutup oleh Menteri Dalam Negeri Yogie S Memed.

Akibatnya, terjadi dualisme kepemimpinan yang kemudian berujung pada bentrokan di Kantor DPP PDI Jakarta pada 27 Juli 1996.

Sejumlah massa yang mengaku pendukung Soerjadi berusaha menguasai DPP PDI yang dikuasai pendukung Megawati. Massa yang semakin lama semakin bertambah akhirnya bentrok dengan aparat yang berhasil menahan mereka selama empat jam lebih.

Massa kemudian berbalik mundur dari Bioskop Metropole ke arah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat. Beberapa di antaranya membakar bus kota yang tengah terparkir di depan RSCM. Massa kemudian bergerak ke Salemba dan mulai membakar gedung-gedung.

Kerusuhan 27 Juli itu mengakibatkan 22 bangunan rusak (beberapa di antaranya dibakar), 91 kendaraan dibakar (termasuk lima bus kota dan 30 kendaraan lebih masih di ruang pameran), serta dua sepeda motor dibakar.

Sebanyak 171 orang ditangkap dalam kerusuhan tersebut, karena melakukan pengrusakan dan pembakaran. Dari 171 orang itu, 146 orang massa pro-Megawati Soekarnoputri dan oknum-oknum lain, sedangkan 25 orang lainnya pro-Soerjadi.

5. Tak memilih pada Pemilu 1997
Setelah peristiwa Kudatuli, PDI terbagi menjadi dua kubu. Namun, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai ketua umum PDI yang sah. Pendukungnya pun enggan berdiam diri mendukung PDI, padahal saat itu menjelang Pemilu 1997.

Ada dua pilihan bagi pendukung Megawati ketika itu. Pilihan pertama adalah tidak menggunakan hak pilihnya, atau kedua dengan cara mengalihkan dukungan ke Partai Persatuan Pembangunan.

Bahkan, saat itu muncul slogan "Mega Bintang" pada Pemilu 1997.

Slogan ini punya dua makna, tanda bahwa pendukung Megawati kini mendukung PPP yang berlambang bintang. Kedua, sebagai upaya melekatkan Megawati dengan Sri Bintang Pamungkas, politisi PPP yang ditahan Pemerintah Soeharto atas tuduhan subversif setelah dia mencalonkan diri sebagai presiden.

Meski begitu, Megawati baru bersuara pada 22 Mei 1997. Saat itu, dia menggelar konferensi pers di kediamannya, terkait sikapnya pada Pemilu 1997.

Dilansir dari Harian Kompas, Megawati mengejutkan publik saat dia menyatakan memilih untuk tidak memilih. Megawati tak menggunakan hak politiknya pada Pemilu 1997.

Namun, Megawati membebaskan pendukungnya untuk menentukan sikap terkait Pemilu 1997.

6. Mendirikan PDI-P
Setelah Soeharto jatuh dan reformasi bergulir, masih banyak pendukung yang berharap Megawati naik sebagai presiden. Salah satu cara adalah dengan memanfaatkan Pemilu 1999.

Guna menyongsong kontestasi politik pada 1999 itu, Megawati beserta pendukungnya mendeklarasikan PDI Perjuangan pada 14 Februari 1999.

Dilansir Harian Kompas yang terbit pada 15 Februari 1999, Megawati Soekarnoputri yang disambut antusias lebih dari 200.000 simpatisannya mengatakan, tidak ada alasan lain untuk menunda perubahan nama dan lambang partainya.

Sejak kelahiran PDI pada 10 Januari 1973, baru kali inilah PDI meskipun dengan nama PDI Perjuangan, diizinkan tampil di stadion berkapasitas 120.000 itu.

7. Jadi presiden, kalah pemilu
Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Soekarnoputri membuka sekolah partai untuk para calon anggota legislatif tingkat DPR RI. Acara sekolah caleg ini digelar di Kantor DPP PDI-P, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (15/11/2018). 
Pada Pemilu 1999, PDI-P menjadi pemenang dengan meraih sekitar 36,6 juta suara. Namun, bukan berarti Megawati langsung menjadi presiden karena pemilihan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Saat itu, ada dua kubu yang bersaing di MPR, yaitu PDI-P dan kubu Partai Golkar yang dinilai sebagai pewaris Orde Baru. Kesengitan itu menyebabkan Amien Rais melakukan manuver dengan membuat Poros Tengah.

Poros Tengah pun mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden dengan mengalahkan Megawati dalam voting di MPR.

Megawati kalah voting pemilihan presiden dengan 373 banding 313 suara. Megawati pun menjalani perannya sebagai wakil presiden.

Namun, pada 2001, dinamika politik memunculkan sejumlah manuver yang membuat Gus Dur dijatuhkan dari kursi presiden. Setelah itu, Megawati ditunjuk sebagai presiden.

Megawati berpasangan dengan Hamzah Haz memimpin hingga 2004. Saat Megawati-Hamzah haz memimpin, terjadi juga sejumlah pembahasan untuk melaksanakan pemilu presiden secara langsung.

Pada 2004, Indonesia pun menggelar pilpres secara langsung. Megawati sebagai petahana dimajukan PDI-P untuk berpasangan dengan Ketua Umum Nahdlatul Ulama saat itu, Hasyim Muzadi.

Namun, pasangan ini kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Pada 2009, Megawati juga maju berpasangan dengan Prabowo Subianto. Namun, lagi-lagi dia kalah dari SBY yang berpasangan bersama Boediono.

Ucok Horlas
 Advertisement Here
 Advertisement Here