-->

KAWAL KASUS KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DI SUMATERA UTARA, KEMENPPPA DORONG PENYELESAIAN MELALUI HUKUM


Jakarta - FBINEWS 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengawal kasus kekerasan seksual terhadap anak berusia 17 tahun yang dilakukan tersangka MAA (20) di Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara yang berakhir dengan pernikahan antara korban dan pelaku. Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar menegaskan penanganan kasus ini seharusnya lebih mengedepankan penyelesaian perkara secara hukum mengingat korbannya masih berusia anak dan terlebih lagi kasusnya merupakan dugaan perkosaan atau persetubuhan.  

 “KemenPPPA mendorong penanganan kasus ini agar dituntaskan secara hukum demi tegaknya hukum yang adil. Penanganan perkara agar tetap berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” tegas Nahar.

Nahar menyampaikan bahwa KemenPPPA melalui Tim SAPA 129 telah melakukan koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Sumatera Utara. Diperoleh informasi bahwa telah dilakukan perdamaian antara pihak korban dan pelaku melalui pertemuan yang dihadiri oleh orang tua kedua belah pihak, penasehat hukum, unsur lembaga kemasyarakatan lingkungan (RW) dan pemuka agama (ustadz) pada 11 November 2022.

Hasil pertemuan tersebut adalah adanya kesepakatan antara kedua pihak orang tua untuk menikahkan korban dan terduga pelaku. MAA juga disebut telah menikah secara siri dengan korban.

 “KemenPPPA sangat menyesalkan masih adanya pihak yang melakukan mediasi pada kasus kekerasan seksual terhadap korban usia anak. Bahkan mediasi dilanjutkan dengan melakukan perkawinan antara pelaku dan korban berdasarkan hasil kesepakatan orang tua kedua pihak yang berperkara,” tutur Nahar.

Nahar menegaskan perkawinan usia anak yang mengandung unsur pemaksaan merupakan perbuatan melawan hukum, sesuai yang tercantum dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pada Pasal 10 Ayat (1) ditegaskan bahwa; setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Lebih lanjut, dalam Pasal 10 Ayat (2) huruf a disebutkan; bahwa hal yang termasuk dalam pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diantaranya: a. perkawinan Anak; atau c. pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan.

“Kami mendorong agar penanganan kasus ini terus berlanjut secara hukum karena kekerasan seksual terhadap anak adalah delik biasa yang dapat tetap diproses meskipun tidak ada pelaporan. Hal tersebut perlu diupayakan untuk memberikan efek jera bagi pelaku, sehingga pelaku tidak bisa bebas tanpa mempertanggung jawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini,” tutur Nahar.

Sebagai informasi, kasus kekerasan seksual tersebut terjadi pada Juni 2022. Kasus ini terungkap karena korban menunjukkan perubahan sikap dan tidak mau sekolah. Korban akhirnya berani mengungkapkan kepada orang tuanya tentang kekerasan seksual yang dialaminya dan segera dilaporkan ke Polrestabes Medan pada Juli 2022. MAA yang disebut berpacaran dengan korban dilaporkan dengan dugaan melakukan persetubuhan dan pencabulan terhadap korban hingga dua kali. 

Polrestabes Medan menangkap terlapor pada akhir Oktober 2022 dan ditetapkan sebagai tersangka, diikuti dengan penahanan oleh Polrestabes Medan. Namun saat ini tersangka dibebaskan dari penjara dengan alasan telah melakukan perkawinan dengan korban.

“KemenPPPA menyesalkan segala bentuk upaya penyelesaian damai secara kekeluargaan dari pelaku kasus kekerasan seksual terhadap korban usia anak. Penyelesaian secara kekeluargaan, bisa menjadi contoh buruk dan memungkinkan pengulangan tindakan kekerasan itu kembali. Hal itu menyebabkan korban anak tidak terlindungi dan tidak mendapat jaminan perlindungan hukum. Pelakunya mesti diberikan hukuman tegas, bukan didamaikan, dan dilimpahkan kasusnya ke Kejaksaan untuk menentukan layak atau tidaknya kasus ini dilimpahkan ke Pengadilan, sesuai ketentuan UU yang berlaku,” tegas Nahar.

KemenPPPA akan terus mengawal kasus ini dan memastikan setiap anak mendapatkan jaminan perlindungan hukum dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945 Pasal 28B ayat (2), yang menyebutkan bahwa; setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

 

 Advertisement Here
 Advertisement Here